Menoreh Hizbul Nafs yang Mulai Luntur

Menoreh Hizbul Nafs yang Mulai Luntur


Dalam tradisi keagamaan dan kearifan lokal Nusantara, istilah hizbul nafs merujuk pada semangat pengendalian diri, disiplin batin, serta kemampuan menjaga integritas moral di tengah dinamika kehidupan. Nilai ini bukan sekadar ajaran normatif, tetapi menjadi fondasi karakter yang memungkinkan seseorang tetap teguh, jernih, dan berdaya menghadapi berbagai godaan maupun tekanan zaman.


Namun, dalam beberapa dekade terakhir, semangat hizbul nafs tampak mengalami pelunturan. Pergeseran budaya, derasnya arus digital, dan meningkatnya orientasi pada kecepatan serta hasil instan membuat pengendalian diri semakin sulit dipraktikkan. Banyak orang lebih sering terdorong oleh impuls sesaat dibandingkan prinsip jangka panjang. Disiplin batin yang dulu diperkuat melalui tradisi belajar, tirakat, dan konsistensi moral, perlahan digantikan kebiasaan reaktif yang mudah terpancing oleh emosi dan distraksi.


Pelunturan ini tampak dari beberapa tanda. Pertama, semakin lemahnya kemampuan menunda kesenangan (delay of gratification). Masyarakat didorong untuk menginginkan segala sesuatu secara cepat—informasi, penghasilan, pengakuan. Kedua, meningkatnya budaya pembenaran diri. Orang lebih mudah menyalahkan keadaan atau pihak lain, dibanding menundukkan ego dan untuk terus melakukan introspeksi. Ketiga, munculnya pola hidup yang rapuh oleh tekanan sosial, sehingga banyak individu kehilangan pusat ketenangan batin yang sebelumnya dilatih melalui nilai hizbul nafsi ini akibatnya mereka malah terjerumus dalam hidup penuh amarah dan persaingan hidup yang tidak sehat.


Padahal, penguatan hizbul nafs memiliki peran strategis dalam membangun masyarakat yang tahan krisis ekonomi maupun krisis moral . Kemampuan mengendalikan diri di dalam hidup penuh ketidakpastian bukan hanya urusan moral pribadi, tetapi juga berpengaruh pada tata hubungan sosial, pola kepemimpinan, dan ketangguhan ekonomi. Individu yang terlatih dalam pengendalian diri cenderung lebih jujur, lebih konsisten, dan lebih tahan terhadap manipulasi emosional.


Menghidupkan kembali semangat ini dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan. Pendidikan karakter perlu kembali menekankan disiplin batin dan ketenangan pikir, bukan hanya pencapaian akademik. Ruang-ruang komunitas dapat kembali menghidupkan tradisi refleksi, musyawarah, dan belajar dari para tokoh yang mencontohkan keteguhan moral. Selain itu, teknologi perlu digunakan secara sadar sebagai alat, bukan sebagai penguasa perilaku manusia.


Pada akhirnya, hizbul nafs bukan sekadar konsep lama yang romantis atau idealistis. Ia adalah modal psikologis dan spiritual yang sangat relevan untuk zaman yang penuh percepatan dan godaan ini. Mengembalikannya berarti memulihkan kemampuan manusia untuk tetap utuh, teguh, dan bijaksana. Revitalisasi nilai tersebut bukan sekadar nostalgia, melainkan sebuah kebutuhan untuk memastikan masa depan yang lebih stabil dan berdaya.

Posting Komentar untuk "Menoreh Hizbul Nafs yang Mulai Luntur"