Harmoni: Sikap Tawwasuth yang Mulai Hilang


Harmoni: Sikap Tawwasuth yang Mulai Hilang


Harmoni kerap dipahami sebagai keadaan paling ideal, seolah ia adalah garis akhir dari setiap perbedaan. Ia dipeluk sebagai keteduhan, dipuja sebagai penawar luka, dan dijadikan alasan untuk menjaga segalanya tetap tampak baik-baik saja. Namun justru di sanalah letak ujian sikap tawasuth. Sebab tidak semua yang tenang itu adil, dan tidak semua yang rukun itu benar.

Tawasuth sejatinya adalah seni menimbang, bukan sekadar seni menenangkan. Ia laksana langkah kaki di atas tali, lentur namun sadar arah. Ketika harmoni ditempatkan sebagai tujuan mutlak, sikap ini kerap tergelincir. Jalan tengah berubah menjadi tempat aman, bukan ruang tanggung jawab. Demi menjaga suasana, suara nurani dipelankan. Demi merawat kebersamaan, kejanggalan diperlakukan sebagai hal biasa.

Di sinilah harmoni menjadi terlalu sopan. Ia enggan mengetuk pintu kebenaran dengan keras, takut mengganggu penghuni kenyamanan. Ia memilih berbisik ketika seharusnya berbicara jelas. Tawasuth yang mestinya hadir sebagai penyeimbang, justru melebur menjadi sikap menunggu, berharap masalah akan luruh oleh waktu.

Padahal keseimbangan tidak lahir dari sikap serba mengalah. Ia tumbuh dari keberanian menempatkan sesuatu secara proporsional. Harmoni yang hidup bukanlah sunyi dari perbedaan, melainkan tertib dalam perbedaan itu sendiri. Seperti aliran sungai yang tenang bukan karena kehilangan arus, tetapi karena tahu ke mana ia mengalir.


Titik rapuh tawasuth muncul saat ia disamakan dengan sikap netral yang beku. Seolah berdiri di tengah berarti menanggalkan keberpihakan pada nilai. Padahal jalan tengah yang sejati memiliki kompas. Ia tidak bising, tetapi jelas. Tidak meledak-ledak, namun tegas. Ia mengingatkan tanpa merendahkan, menegur tanpa melukai.

Harmoni seharusnya tumbuh sebagai hasil dari keadilan yang dirawat dengan kebijaksanaan. Bukan sebagai tirai halus yang menutupi ketimpangan, atau alas empuk tempat ketidakberesan bersembunyi. Jika harmoni hanya dijaga di permukaan, maka yang lahir bukan kedamaian, melainkan kelelahan kolektif yang dibungkam oleh sopan santun.

Karena itu, tawasuth perlu dihidupkan kembali sebagai sikap yang bergerak, bernapas, dan berani hadir di saat genting. Ia harus cukup luwes untuk merangkul, namun cukup kokoh untuk menolak. Cukup lembut untuk merawat, namun cukup tegas untuk meluruskan.

Di sanalah harmoni menemukan maknanya yang utuh. Bukan sebagai keadaan tanpa gesekan, melainkan sebagai irama yang jujur. Selaras, karena setiap nada berani berbunyi pada tempatnya.

Posting Komentar untuk "Harmoni: Sikap Tawwasuth yang Mulai Hilang"