Opini: “Semakin Bertambah Umur Kita, Maka Semakin Membutuhkan Bantuan Orang Lain”
Opini: “Semakin Bertambah Umur Kita, Maka Semakin Membutuhkan Bantuan Orang Lain”
Usia ibarat matahari yang bergerak perlahan menuju ufuk senja: semakin merendah cahayanya, semakin panjang bayangan hikmah yang ditinggalkannya. Pada setiap guratan waktu, manusia mulai mengerti bahwa hidup bukan panggung kesendirian. Tangan-tangan yang dahulu dianggap sekadar lewat, kini tampak sebagai jembatan rahmat yang membuat langkahnya tetap tegak.
Di titik inilah ajaran Ahlussunnah wal Jamaah menemukan gema terindahnya. Tawazzun, tasamuh, dan i’tidal bukan lagi sekadar konsep, tetapi menjadi denyut kehidupan yang menuntun manusia menerima dirinya apa adanya: rapuh, namun mulia; lemah, namun saling menguatkan.
Tawazzun memantulkan pesan sederhana namun dalam: keseimbangan adalah pusat dari segala gerak. Semakin jauh usia melangkah, semakin luluh angan tentang kemandirian absolut. Manusia belajar bahwa tidak ada pohon yang tumbuh sendirian; akarnya ditopang tanah, dahannya memeluk angin, dan buahnya dinikmati makhluk lain. Begitu pula manusia, yang semakin dewasa justru semakin jujur mengakui bahwa bantuan orang lain adalah bagian dari takdir yang menumbuhkan.
Tasamuh hadir sebagai sejuknya angin yang menenangkan dada. Ia mengajarkan bahwa setiap manusia membawa luka dan cahaya yang tak terlihat. Seiring usia, seseorang tidak lagi melihat perbedaan sebagai jurang, tetapi sebagai jalinan warna yang memperindah kain kehidupan. Dalam meminta maupun memberi bantuan, kelapangan hati menjadi bahasa yang lebih fasih daripada sekadar kata-kata.
I’tidal memberikan garis lurus bagi langkah manusia. Kelurusan sikap membuat seseorang tidak berlebihan dalam menuntut dan tidak merendahkan diri dalam menerima. Ia mengajarkan bahwa martabat manusia tidak pecah hanya karena ia meminta tolong, dan tidak meningkat hanya karena ia menolong. Nilai ini menjadikan hubungan sosial tetap anggun, terukur, dan terhormat.
Amar Makruf Nahi Mungkar: Nafas Moral dalam Pertambangan Usia
Ketika usia menua, batin biasanya semakin sensitif terhadap makna. Amar makruf nahi mungkar tidak lagi tampak sebagai perintah yang berat, tetapi sebagai kewajiban yang lahir dari cinta kepada sesama. Ia menjadi cara halus menjaga dunia agar tetap berjalan di koridor kemanusiaan.
Amar makruf di usia matang adalah ajakan yang tidak meninggi, tidak menggurui, tetapi mengalir seperti air yang menyejukkan tanah kering. Ia adalah nasihat yang dibungkus kelembutan, bukan paksaan.
Nahi mungkar pun lahir dari ketulusan, bukan kemarahan. Ia menegur tanpa melukai, menahan tanpa mematahkan, dan mengarahkan tanpa mempermalukan.
Inilah harmoni nilai Aswaja: kebaikan tidak dibunyikan dengan keras, tetapi dirasakan sebagai keteduhan yang meresap.
Implikasi
1. Kehidupan sosial menjadi ruang yang lebih manusiawi.
Ketika seseorang sadar bahwa ia butuh bantuan, ia memandang orang lain bukan sebagai pesaing, tetapi sebagai saudara perjalanan.
2. Kebaikan menjadi warisan, bukan sekadar tindakan spontan.
Orang yang matang merasa terpanggil untuk menjaga dunia dengan lembut: melalui nasihat, keteladanan, dan doa.
3. Muncul karakter moderat yang menyejukkan.
Tawazzun, tasamuh, dan i’tidal membentuk pribadi yang tidak mudah goyah oleh konflik maupun perbedaan.
4. Amar makruf nahi mungkar menjadi seni moral.
Ia bukan lagi sekadar aturan, tetapi cahaya yang dipantulkan dari kedalaman jiwa yang sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
Pada akhirnya, usia tidak hanya menambah angka, tetapi memperhalus mata hati. Semakin seseorang bertambah umur, semakin ia sadar bahwa hidup adalah simfoni yang hanya indah jika dimainkan bersama. Dan di tengah perjalanan yang penuh keterbatasan ini, manusia menemukan kemuliaannya: bukan karena mampu berdiri sendiri, melainkan karena mampu merendahkan hati dan menjadi manfaat bagi sesama.
.png)
Posting Komentar untuk "Opini: “Semakin Bertambah Umur Kita, Maka Semakin Membutuhkan Bantuan Orang Lain”"
Posting Komentar