Jalan Kemuliaan Hakiki: Kemuliaan Tidak diperoleh dari Keturunan namun karena usaha yang dilakukan
Jalan Kemuliaan Hakiki: Kemuliaan Tidak diperoleh dari Keturunan namun karena usaha yang
dilakukan
Dalam hamparan kehidupan sosial kita, seringkali kita jumpai kekaguman yang ditujukan pada nama besar, garis keturunan, atau "nasab" yang mentereng.
Seperti penyebutan "Bin ini Bin Itu, Binti ini Binti Itu, Marga Ini dan Marga itu" Memang benar, menghormati leluhur dan menjaga nama baik keluarga adalah sebuah kebajikan. Namun, dalam ajaran Islam yang luhur, khususnya sebagaimana yang dihayati dan diajarkan oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, kemuliaan sejati bukanlah sesuatu yang diwariskan secara pasif, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan secara aktif.
Kemuliaan hakiki tidak terletak pada siapa orang tua kita, tetapi pada apa yang kita lakukan dengan tangan, pikiran, dan hati kita sendiri.
Banyak juga cerita yang datang dari orang melarat, miskin dan hidupnya serba keterbatasan. Namun, dengan kesungguhannya dia berhasil mencapai sebuah kemuliaan.
Ada juga, hikayat masa lalu dari seorang pemuda yang terlahir dari rahim bangsawan akan tetapi hidupnya hanya di sia - siakan, malas - malasan, tidak mau belajar tidak mau bekerja, tidak mau menafkahi keluarganya. Dia tumbuh sebagai orang terhina dan terjatuh pada martabat terbawah.l
Mendefinisikan Ulang Makna "Ningrat"
Dalam tradisi Nahdlatul Ulama, penghormatan terhadap dzurriyah (keturunan) Nabi maupun para kiai (ulama) adalah bagian dari akhlakul karimah (akhlak mulia). Namun, para kiai dan intelektual NU, seperti yang sering kita simak dalam kajian di NU Online, senantiasa mengingatkan bahwa nasab adalah amanah, bukan privilege untuk bermalas-malasan.
Seorang "Gus" (putra kiai) atau "Sayyid" (keturunan Nabi) baru benar-benar mulia ketika ia melanjutkan perjuangan, ilmu, dan akhlak leluhurnya. Jika ia hanya mengandalkan nama besar tanpa diiringi amal saleh dan kerja keras, maka kebesaran nasab itu justru menjadi "beban" hisab yang lebih berat.
Sebaliknya, Islam mengangkat derajat siapa saja yang berusaha. Kisah Bilal bin Rabah, seorang mantan budak yang dimuliakan karena ketakwaannya, atau Salman Al-Farisi, seorang pendatang dari Persia, adalah bukti abadi bahwa di mata Allah, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa (Q.S. Al-Hujurat: 13). Dan ketakwaan itu salah satunya dibuktikan dengan kerja keras yang halal.
Kerja Keras adalah Ibadah dan Martabat Tertinggi Manusia
Pandangan NU mengenai etos kerja sangatlah mendalam. Bekerja mencari nafkah yang halal untuk keluarga tidak dipandang sebagai urusan duniawi semata. Ia adalah ibadah, bahkan setara dengan jihad fi sabilillah. Para ulama NU sering mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang mencium tangan sahabatnya yang kasar karena bekerja, seraya bersabda bahwa tangan itu dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Ini adalah pesan yang menggugah: Allah tidak melihat kemewahan hasil, tetapi menghargai kesungguhan proses.
Setiap tetes keringat yang jatuh demi sesuap nasi yang halal adalah dzikir.
Setiap kelelahan yang kita rasakan dalam bekerja adalah pelebur dosa.
Menolak meminta-minta dan memilih bekerja—sekecil apapun hasilnya—adalah wujud dari iffah (menjaga harga diri), sebuah sifat yang sangat dipuji dalam Islam.
Pendidikan untuk Mandiri (Visi LP Ma'arif NU)
Semangat inilah yang coba ditanamkan oleh lembaga pendidikan di bawah naungan NU, seperti LP Ma'arif NU. Fokus pendidikannya tidak hanya mencetak siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga siswa yang memiliki "karakter".
Salah satu karakter utama yang ditekankan adalah kemandirian. LP Ma'arif NU mendidik generasi muda agar tidak "manja" oleh keadaan atau latar belakang keluarga. Mereka didorong untuk memiliki life skills (kecakapan hidup), berani berwirausaha, dan siap menjadi "tangan di atas".
Pendidikan (Ma'arif) yang sesungguhnya adalah yang membebaskan manusia dari ketergantungan. Ia adalah alat untuk "mengukir takdir" kita sendiri dengan izin Allah. Ia mengajarkan bahwa ijazah atau gelar bukanlah tujuan akhir, melainkan bekal untuk berkarya dan memberi manfaat (Khoirunnas Anfa'uhum linnas).
Nasab Itu Anugerah, Usaha itu Pilihan untuk menjadi Mulia
Pada akhirnya, kita semua harus berterima kasih atas anugerah nasab yang kita miliki. Namun, kita tidak boleh terpenjara olehnya, baik karena merasa rendah diri akibat "bukan siapa-siapa", atau merasa sombong karena "keturunan siapa-siapa".
Para pendiri NU, seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, adalah teladan sempurna dari kerja keras. Beliau adalah seorang kiai alim, sekaligus seorang petani dan pedagang yang ulung. Beliau tidak hanya mengandalkan nasabnya yang luhur, tetapi berjuang seumur hidup untuk belajar, mengajar, dan berkhidmat kepada umat.
Jalan kemuliaan itu terbentang luas, bukan di ruang tamu para bangsawan, tetapi di sawah, di pasar, di kantor, di bengkel, dan di setiap tempat di mana usaha halal dan doa tulus dipanjatkan.
Marilah kita ukir kemuliaan kita sendiri. Sebab, kemuliaan yang sejati adalah kemuliaan yang kita raih dengan keringat, integritas, dan kerja keras, seraya berharap rida Allah SWT.
.jpeg)
Posting Komentar untuk "Jalan Kemuliaan Hakiki: Kemuliaan Tidak diperoleh dari Keturunan namun karena usaha yang dilakukan "
Posting Komentar