Ironi Sang Penderma: Saat Kebaikan Dibatalkan oleh Kesombongan
Ironi Sang Penderma: Saat Kebaikan Dibatalkan oleh Kesombongan
Hati siapa yang tidak tersentuh melihat indahnya berbagi? Memberi adalah salah satu perbuatan paling membahagiakan. Hati terasa lapang, dan kita tahu kita telah membantu meringankan beban sesama.
Dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), sedekah adalah amalan mulia yang membersihkan harta dan jiwa. Namun, ironisnya, ada sebuah jebakan yang bisa membuat pahala besar itu luntur seketika. Ada sebuah kebaikan tulus yang bisa dibatalkan oleh kesombongan.
Ini adalah "penyakit" yang sering kita abaikan, padahal peringatannya sangat keras.
Peringatan yang Menghantam: Jangan Batalkan Amalmu!
Allah SWT sudah memberi peringatan tegas dalam Al-Quran. Ini bukan masalah sepele. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 264, Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (membatalkan) pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya (mengungkit) dan menyakiti (perasaan si penerima)..."
Perhatikan kata "membatalkan". Bukan sekadar mengurangi, tapi menghanguskan! Seperti yang sering dikaji oleh para kiai di NU Online, ada dua racun utama yang membuat amal kita sia-sia:
1. Racun Pertama: Al-Mannu (Mengungkit-ungkit)
Ini adalah penyakit "ingin diakui". Hati kita berbisik, "Dia bisa begitu 'kan karena saya." Lalu lisan kita berucap, "Ingat ya, dulu siapa yang bantu kamu..."
Saat kalimat itu meluncur, kita telah mengubah sedekah tulus menjadi transaksi utang budi. Kita telah sombong. Kita merasa menjadi pahlawan dan lupa bahwa kita hanya perantara rezeki dari Allah.
2. Racun Kedua: Al-Adza (Menyakiti Hati)
Ini adalah perbuatan menyakiti perasaan si penerima. Ini bisa lebih halus tapi tak kalah merusak. Misalnya:
Memberi dengan wajah sinis atau merendahkan.
Menghardik saat mereka meminta.
Yang paling sering terjadi di zaman media sosial: memfoto mereka saat sedang susah.
Para ulama NU sering mengingatkan, memajang foto penerima bantuan dalam keadaan menangis atau menengadah untuk konten adalah bentuk 'adza' (menyakiti) gaya modern. Itu membunuh harga diri mereka di depan umum.
Mengapa Allah Begitu Murka?
Kenapa perbuatan ini fatal? Karena sedekah pada intinya adalah untuk membersihkan hati kita sendiri.
Para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, yang pemikirannya sering jadi rujukan NU Online, mengajarkan bahwa tujuan sedekah adalah mengikis sifat kikir dan sombong dalam diri kita.
Jika setelah memberi, kita malah merasa sombong, merasa lebih tinggi, dan berhak merendahkan orang lain, berarti tujuan sedekah itu gagal total.
Inti sedekah adalah memuliakan manusia, bukan menginjak martabatnya. Saat kita menyakiti mereka, kita sedang menghina hamba yang sedang diuji oleh Allah.
Gambaran Amal yang Sia-sia
Allah memberi gambaran yang sangat menakutkan dalam lanjutan ayat tersebut.
Amal kita yang suka mengungkit dan menyakiti itu diibaratkan seperti tanah tipis di atas batu licin. Kebaikan kita adalah tanah itu.
Lalu, kesombongan dan lisan kita yang menyakiti adalah "hujan lebat" yang menerpa batu itu.
Apa yang terjadi? Tanah (pahala) itu hanyut tak bersisa. Yang tinggal hanya batu licin (kesombongan) kita yang bersih dari pahala. Amal itu tampak, tapi nilainya kosong. Sia-sia.
Pelajaran untuk Kita
Inilah ironi sang penderma. Kita sudah berjuang ikhlas mengeluarkan harta, tapi kita sering gagal menjaga lisan dan hati setelahnya.
Ternyata, ujian terberat bukanlah saat mengeluarkan uang. Ujian terberat adalah setelah uang itu diberikan: yaitu ujian untuk diam, ikhlas, dan melupakannya.
Mari kita belajar memberi, lalu belajar melupakan. Biarkan kebaikan itu murni menjadi urusan kita dengan Allah, bukan menjadi alat untuk merasa hebat dan merendahkan orang lain.
Wallahu a'lam bish-shawab.

Posting Komentar untuk "Ironi Sang Penderma: Saat Kebaikan Dibatalkan oleh Kesombongan"
Posting Komentar