Kisah Inspiratif: Anak yang Bodoh Memaksa Pintar
Kisah Inspiratif: Anak yang Bodoh Memaksa Pintar
Namanya Junaedi, tapi semua orang di pasar memanggilnya "Juned Kuli". Tubuhnya kokoh, terbentuk oleh ratusan karung beras yang ia angkut setiap hari. Junaedi tidak pernah tamat sekolah dasar. Membaca tulisan latin saja dia masih mengeja, apalagi membaca tulisan Arab.
Junaedi sadar dirinya "bodoh". Dan dia sangat membenci kenyataan itu.
Di sela-sela istirahatnya, di antara bau rempah dan keringat, Junaedi sering mengamati orang-orang di sekitarnya. Penjaga toko, tukang ojek, bahkan sesama kuli, kini sibuk dengan ponsel mereka. Mereka mendengarkan ceramah, lalu mengangguk-angguk seolah baru menemukan harta karun.
Telinganya sering menangkap percakapan mereka.
"Kata Ustadz Fulan, makna ikhlas itu..."
"Ternyata, arti tawakkal yang sebenarnya adalah..."
Dada Junaedi terasa sesak. Mereka semua tampak "pintar". Mereka bisa mendapatkan ilmu dengan mudah. Sementara dirinya? Pikirannya hanya penuh dengan daftar angkutan dan harga kebutuhan pokok.
Dia merasa bodoh, dan dia marah pada kebodohannya. Dia ingin pintar. Bukan pintar untuk pamer, tapi... dia hanya ingin mengerti. Mengerti apa yang diobrolkan orang. Mengerti mengapa hatinya terasa kosong, padahal badannya remuk karena bekerja setiap hari.
"Aku bodoh," gumamnya suatu sore, "tapi aku memaksa harus pintar."
Malam itu, dengan tekad yang lebih keras dari ototnya, Junaedi melakukan hal yang tidak terduga. Dia berjalan ke rumah Kiai Sobri, pimpinan sebuah pondok pesantren sederhana di belakang pasar.
Junaedi berdiri kaku di depan pintu. Bajunya bau keringat pasar, tangannya kasar dan kapalan. Dia merasa sangat kotor untuk bertamu ke rumah seorang ulama. Tapi rasa ingin-nya jauh lebih besar daripada rasa malu-nya. Dia pun memberanikan diri mengetuk pintu.
Kiai Sobri, seorang bapak tua dengan wajah yang sangat teduh, membukakan pintu.
"Junaedi? Tumben sekali, ada apa, Nak?" sapa Kiai Sobri ramah.
Junaedi menunduk dalam, tidak berani menatap wajah sang Kiai. "Maaf, Kiai... saya ini orang bodoh. Saya tidak bisa membaca."
Suaranya bergetar. "Tapi... tapi saya ingin sekali pintar, Kiai. Saya ingin mengerti agama. Saya memaksa diri saya harus bisa. Tolong, Kiai... ajari saya."
Kiai Sobri terdiam. Beliau menatap Junaedi lama. Beliau bisa saja memberinya buku Iqro' atau buku tuntunan sholat. Tapi Kiai Sobri melihat sesuatu di mata Junaedi: sebuah pemaksaan diri yang tulus, sebuah kebodohan yang sangat merindukan cahaya.
"Kamu yakin mau memaksa diri?" tanya Kiai Sobri.
"Sangat yakin, Kiai! Apa saja akan saya kerjakan."
"Baik," kata Kiai Sobri. "Ilmu itu cahaya. Dan cahaya hanya mau masuk ke wadah yang bersih. Mulai besok, sebelum adzan Subuh, tugasmu adalah membersihkan seluruh kamar mandi dan tempat wudhu di masjid pondok. Setiap hari. Tanpa boleh libur. Apa kamu sanggup?"
Junaedi terkejut. Dia ingin belajar kitab, tapi malah disuruh membersihkan toilet.
Tapi dia sudah bertekad. "Saya sanggup, Kiai!"
Maka, dimulailah "paksaan" itu. Setiap pukul tiga pagi, Junaedi bangun. Jauh lebih pagi dari jadwalnya ke pasar. Dia berjalan ke pondok, mengambil sikat, ember, dan mulai menggosok lantai kamar mandi yang kotor, membersihkan lumut di tempat wudhu, dan memastikan bak air selalu penuh.
Selesai tugasnya, adzan Subuh berkumandang.
"Setelah sholat, jangan langsung pulang, Jun," kata Kiai Sobri suatu hari. "Duduk di barisan paling belakang. Dengarkan saja."
Junaedi menurut. Dia duduk di pojok masjid, mendengarkan Kiai Sobri mengajar kitab kuning kepada para santrinya. Junaedi tidak mengerti apa-apa. Telinganya mendengar istilah wajib, sunnah, makruh, tapi otaknya menolak.
Ini berlangsung berbulan-bulan. Enam bulan. Setahun.
Badannya semakin lelah. Pagi buta membersihkan kamar mandi, siangnya memanggul karung di pasar. Seringkali dia tertidur di pojok masjid saat Kiai Sobri menerangkan ilmu waris atau fiqih.
Para santri muda kadang berbisik, "Kasihan Kang Juned, memaksa ingin pintar, tapi ya tidak akan bisa masuk ilmunya."
Suatu Subuh, Kiai Sobri sedang menerangkan bab tentang Hikmah (Kebijaksanaan).
Seorang santri senior bertanya, "Kiai, bagaimana cara kita mendapatkan hikmah, bukan sekadar pengetahuan?"
Kiai Sobri terdiam sejenak. Beliau tidak langsung menjawab. Matanya justru mencari ke barisan paling belakang.
"Junaedi," panggil Kiai.
Juned, yang setengah mengantuk, kaget bukan main. "I... Iya, Kiai?"
"Maju ke depan sini."
Dengan lutut gemetar, Junaedi berjalan ke depan. Dia duduk bersimpuh di hadapan puluhan santri yang menatapnya heran.
"Jun," kata Kiai Sobri lembut. "Kamu sudah setahun lebih membersihkan lantai kamar mandi pondok ini. Apa yang kamu dapatkan?"
Junaedi bingung harus menjawab apa. "Maaf, Kiai... saya belum pintar. Saya masih belum bisa membaca."
"Bukan itu," kata Kiai. "Apa yang kamu rasakan?"
Junaedi menunduk dalam. Dia berpikir keras.
"Saya... saya hanya mengerti satu hal, Kiai," jawab Junaedi pelan. "Dulu, waktu jadi kuli, saya pikir badan saya yang paling kotor karena keringat dan debu pasar."
"Tapi setelah setahun saya menggosok lantai masjid ini..." suaranya mulai bergetar menahan tangis, "Saya baru sadar, Kiai. Ternyata... yang paling kotor dari diri saya itu bukan badan saya."
"Lalu apa, Jun?"
"Hati saya, Kiai. Hati saya. Dulu saya gampang sekali iri hati, gampang mengeluh, gampang marah. Sekarang... setiap saya menggosok noda di lantai, saya bicara dalam hati, 'Ya Allah, seperti saya membersihkan noda yang terlihat ini, tolong bersihkan juga noda di hati saya.'"
Seisi masjid hening seketika.
"Saya memaksa diri ingin pintar," tutup Junaedi, "tapi Allah malah mengajari saya cara membersihkan hati. Mungkin... mungkin ini ilmu yang saya butuhkan lebih dulu, Kiai. Bukan ilmu di buku."
Kiai Sobri tersenyum, matanya tampak basah karena bangga. Beliau menoleh ke para santrinya.
"Kalian dengar?" kata Kiai Sobri. "Kalian mencari hikmah di lembaran-lembaran kitab. Junaedi menemukannya di lantai kamar mandi."
"Inilah intisari ajaran kita," lanjut Kiai. "Dalam Ahlussunnah wal Jama'ah, ilmu harus seimbang dengan amal (perbuatan) dan akhlak (budi pekerti). Junaedi memaksa dirinya mencari ilmu, tapi Allah memberinya hikmah lebih dulu melalui pengabdian (khidmat)."
"Dia tidak menjadi 'pintar' seperti yang kalian kira," kata Kiai, "tapi dia menjadi 'mengerti'. Dan 'mengerti' dengan hati yang bersih, adalah derajat ilmu yang jauh lebih tinggi."
Junaedi Kuli tetap tidak bisa membaca kitab. Dia tetap terlihat "bodoh" di mata dunia. Tapi pagi itu, dia—si keras kepala yang rindu cahaya—akhirnya telah menemukan cahayanya sendiri.

Posting Komentar untuk "Kisah Inspiratif: Anak yang Bodoh Memaksa Pintar"
Posting Komentar