Harmoni Islam dan Budaya: Paradigma Moderat Berakar Tawazzun dalam Metodologi Aswaja An-Nahdliyyah
Harmoni Islam dan Budaya: Paradigma Moderat Berakar Tawazzun dalam Metodologi Aswaja An-Nahdliyyah
Sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam diskursus keagamaan adalah: "Apakah Islam datang untuk menghapus budaya?" Sebagian kalangan, dengan pemahaman yang kaku, seringkali membenturkan antara ajaran Islam yang dianggap "murni" (Arab) dengan budaya lokal ( Nusantara). Namun, dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyyah (Aswaja NU), Islam dan budaya tidak untuk dipertentangkan, melainkan untuk didialogkan dalam sebuah harmoni.
Landasan tekstual (dalil) utama dari sikap akomodatif ini, sebagaimana sering diulas dalam berbagai kajian di NU Online, seringkali merujuk pada firman Allah SWT dalam Surat Al-A’raf ayat 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-’urf), serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh."
Para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) menafsirkan kata al-’urf dalam ayat tersebut tidak hanya sebagai "kebaikan" secara umum. Secara kebahasaan dan terminologi ushul fiqh, al-'urf juga bermakna "adat istiadat" atau "budaya lokal" yang telah dikenal baik oleh suatu masyarakat.
Ayat ini, menurut para kiai NU, secara eksplisit memerintahkan Nabi Muhammad SAW (dan umatnya) untuk mengambil dan memerintahkan 'urf—yaitu budaya dan tradisi lokal yang baik dan tidak bertentangan dengan pokok-pokok akidah.
Prinsip ini bukanlah inovasi baru, melainkan warisan metodologi yang berakar kuat pada nilai Tawazzun (keseimbangan) dan diilhami oleh paradigma para ulama besar seperti Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali.
Akar Tawazzun: Fondasi Sikap Muderat
Metodologi Aswaja Ke-NU-an dalam menyikapi budaya berpijak pada prinsip dasar Tawazzun. Ini adalah sikap seimbang dalam menyikapi berbagai aspek kehidupan, termasuk keseimbangan antara:
Naql (Teks Wahyu) dan 'Aql (Akal/Konteks): Islam tidak hanya dipahami secara tekstual murni, tetapi juga melihat konteks sosiokultural di mana teks itu diimplementasikan.
Syari'ah (Aspek Legal-Formal) dan Haqiqah (Aspek Substansi-Spiritual): Agama bukan hanya soal ritual formal, tapi juga soal nilai dan esensi.
Kepentingan Duniawi dan Ukhrawi: Keduanya dijaga keseimbangannya tanpa ifrath (berlebihan) atau tafrith (meremehkan).
Sikap tawazzun inilah yang melahirkan nuansa muderat (moderat). Islam tidak tampil sebagai kekuatan yang menghancurkan (destruktif), melainkan sebagai kekuatan yang merawat dan menyempurnakan (konstruktif dan akomodatif).
Paradigma Imam Junaid Al-Baghdadi: Batas Syariat dalam Ekspresi Budaya
Imam Junaid Al-Baghdadi adalah seorang sufi agung yang dikenal sebagai "penghulu" kaum sufi. Beliau meletakkan dasar penting bagi tasawuf yang moderat, yang sering disebut sebagai tasawuf "sadar" (sahw).
Prinsip terkenalnya adalah:
"Semua jalan (spiritual) tertutup, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW."
Bagi Imam Junaid, tasawwuf (yang sering menjadi motor ekspresi spiritual dalam budaya, seperti syair, seni, dan tradisi) harus selalu terikat dan dibatasi oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Implementasinya dalam Budaya: Paradigma Imam Junaid memberikan filter syar'i yang jelas. Budaya lokal, tradisi, atau kebiasaan masyarakat ('urf) boleh dipertahankan dan bahkan diislamkan selama substansinya tidak bertentangan dengan nash sharih (teks syariat yang jelas).
Contoh: Tradisi kenduri atau slametan dalam budaya Jawa. Jika isinya adalah syirik atau penyembahan selain Allah, maka ia tertolak. Namun, jika substansinya diubah menjadi silaturahmi, sedekah makanan, dan doa bersama (Tahlil, Shalawat), maka tradisi itu sah dan shalih (baik) karena telah sesuai dengan "jejak langkah Rasul" dalam bingkai syariat.
Hadits ini menunjukkan bahwa Islam tidak hadir dengan watak kaku yang mempersulit (tasyaddud), yang sering menjadi pemicu benturan dengan budaya.
Berikut adalah haditsnya:
Hadits Shahih Riwayat Imam Bukhari:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
Artinya:
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: "Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tidaklah seseorang mempersulit agama ini kecuali dia akan terkalahkan (oleh kesulitannya sendiri). Maka, luruskanlah (niat dan amal kalian), dekatkanlah (diri kepada Allah), dan berilah kabar gembira..." (HR. Bukhari)
Hadits ini adalah landasan fundamental bagi sikap moderat (Tawassuth dan Tawazzun) yang dipegang NU dalam berdakwah dan menyikapi tradisi.
"Innad-dina yusrun" (Agama ini mudah):
Prinsip dasar Islam adalah kemudahan, bukan kesulitan.
Metodologi dakwah yang langsung "menabrak" atau memberangus budaya lokal yang sudah mengakar (seperti tradisi slametan, ziarah, atau seni lokal) adalah bentuk mempersulit (mempersulit) dakwah dan ajaran itu sendiri.
"Wa lan yusyadda ad-dina ahadun illa ghalabah" (Tidaklah seseorang mempersulit agama, kecuali ia akan terkalahkan):
Sikap kaku, tekstualis, dan tidak akomodatif terhadap budaya ('urf) adalah bentuk tasyaddud (ekstrem/mempersulit) dalam beragama. Nabi SAW memperingatkan bahwa sikap ekstrem ini akan gagal; ia akan "terkalahkan" oleh realitas sosial atau oleh ketidakmampuan manusia itu sendiri untuk menjalankannya secara konsisten. Dakwah yang menabrak budaya akan sulit diterima masyarakat dan akhirnya akan "kalah" (ditolak).
"Fa saddidu wa qaribu" (Maka luruskanlah dan dekatkanlah):
Ini adalah solusi yang ditawarkan Nabi.
Saddidu (luruskan): Ini sejalan dengan paradigma Imam Junaid Al-Baghdadi. Budaya lokal boleh, tapi niat dan akidahnya harus diluruskan agar tetap dalam koridor syariat (Tauhid).
Qaribu (dekatkan): Ini adalah pendekatan akomodatif dan substantif (seperti paradigma Imam Al-Ghazali). Alih-alih menghancurkan, para ulama Aswaja mendekati budaya itu, mencari titik temu (common ground), dan mengisinya dengan substansi Islam. Wayang didekati lalu diisi kisah tauhid. Kenduri didekati lalu diisi tahlil dan sedekah.
Hadits ini membenarkan metodologi Wali Songo dan ulama NU yang memilih jalan dialogis dan substantif (moderat), alih-alih jalan konfrontatif (kaku/ekstrem) dalam dakwah.
Paradigma Imam Al-Ghazali: Memahami Substansi dan Maqasid
Imam Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam (Pembela Islam), adalah tokoh yang menyintesiskan secara brilian antara fiqh (hukum), kalam (teologi), dan tasawwuf (spiritualitas). Dalam metodologinya, Al-Ghazali tidak bersikap kaku pada bentuk formal, tetapi sangat menekankan pada substansi (isi) dan Maqasid (tujuan) Syariah.
Dalam Ihya Ulumiddin, Al-Ghazali mengajarkan bahwa niat dan esensi sebuah perbuatan jauh lebih penting. Beliau juga sangat menghargai 'urf (adat istiadat) sebagai salah satu pertimbangan dalam penerapan hukum, selama adat itu membawa maslahah mursalah (kebaikan publik) dan tidak menabrak pokok syariat.
Implementasinya dalam Budaya: Paradigma Al-Ghazali memungkinkan Islam untuk "mewarnai" budaya dari dalam.
Contoh: Gamelan atau Wayang. Bagi kalangan yang kaku, ini bisa dianggap tasyabbuh (menyerupai) tradisi non-Islam. Namun, dengan paradigma Al-Ghazali, Wali Songo (yang notabene berafiliasi dengan mazhab ini) melihat substansi-nya. Wayang adalah media berkumpulnya masyarakat (maslahah). Media ini kemudian diisi dengan substansi Islam (kisah para nabi, nilai tauhid, dan akhlak). Bentuk boleh lokal, tapi ruh dan isinya adalah Islam.
Dari akar tawazzun serta paradigma Imam Junaid (sebagai penjaga batas syariat) dan Imam Al-Ghazali (sebagai penekun substansi), lahirlah metodologi praktis Aswaja An-Nahdliyyah dalam berdialektika dengan budaya.
Metodologi ini terangkum dalam kaidah fiqh yang masyhur:
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ
"Memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil (mengadopsi) hal-hal baru yang lebih baik."
Inilah jawaban mengapa Islam (versi Aswaja NU) tidak menabrak budaya:
Al-Muhafazhah 'ala al-Qadim al-Shalih (Memelihara yang Lama dan Baik):
Islam tidak datang untuk memberangus tradisi (budaya lama) yang sudah ada. Jika tradisi itu shalih (baik) atau setidaknya tidak bertentangan dengan syariat (sesuai filter Imam Junaid), maka ia dipelihara.
Dialektika dan Islamisasi: Jika tradisi itu mengandung unsur yang tidak baik, ia tidak lantas dimusnahkan.
Melainkan, substansinya diubah, diisi, dan diwarnai dengan nilai-nilai Islam (sesuai metode Al-Ghazali) hingga ia menjadi shalih. Inilah proses "Islamisasi Budaya" yang damai, bukan "Arabisasi".
Al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (Mengadopsi yang Baru dan Lebih Baik): Islam juga tidak anti-modernitas.
Budaya baru atau metodologi baru (seperti teknologi, sistem organisasi, dll) boleh diambil jika ia ashlah (lebih baik, lebih efektif) untuk mencapai tujuan syariat.
Islam tidak menabrak budaya masyarakat karena ia memiliki perangkat metodologi yang kaya dan moderat (muderat). Dengan berakar pada nilai Tawazzun, dibatasi oleh koridor syariat yang jelas (paradigma Imam Junaid), dan didalami melalui substansi serta maqasid (paradigma Imam Al-Ghazali), Islam versi Aswaja Ke-NU-an mampu berdialog secara harmonis.
Hasilnya adalah Islam yang rahmatan lil 'alamin—Islam yang hadir bukan sebagai ancaman bagi kearifan lokal, melainkan sebagai penyempurna dan penjaga nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam bingkai tauhid.

Posting Komentar untuk "Harmoni Islam dan Budaya: Paradigma Moderat Berakar Tawazzun dalam Metodologi Aswaja An-Nahdliyyah"
Posting Komentar